AMBIGU PENDIDIKAN

ilustrasi : pdlfile.foto

AMBIGU PENDIDIKAN

Mustaqiem Eska

Sekarang, setelah menapaki dua era yang berbeda, menjadi pendidik harus pandai dan bijak. Rasanya, apapun dalam hidup, setiap manusia akan dihadapkan pada realitas sebagai sesuatu yang tak mungkin tidak harus dihadapi. -Juga- dituntut cerdik menganalisa teori sebagai ikhtiar kajian atas ragam ijtihad pemikiran atas semua nilai-nilai. Diantara nilai-nilai itu adalah tentang Tuhan, tentang penghambaan, tentang waktu (dunia) dan tentang tujuan.

Menjaga sebuah nilai utuh yang komplek tentang sebuah tujuan itu menjadi pe er besar bagi sistem pendidikan saat ini. Mengapa bukan sekolah? Karena sekolah adalah standar ganda bagi tumpuan pengembangan dan perkembangan bagi suatu proses didik. Jadi, di titik termula bagi tanggung jawab pola asuh dan pola didik, (rasanya) harus disepakati, bahwa setiap orangtua adalah pendidik. Tak terkecuali. Ya, pendidik bagi sekolah kecil yang ada di keluarganya.

Nah, sekarang mari sama-sama kita mengaca di depan cermin masa depan, bukan cermin era doeloe. Karena faktanya, dua bentuk cermin pendidikan antara doeloe dan sekarang bukan hanya beda ejaan, tapi jauh sudah berbeda dalam segala hal. Beberapa fikih pendidikan pun mengalami pergeseran pola pendekatan, pola strategi, dan pola tuntutan. Kendatipun tugas terberat adalah -bagaimana- tetap satu tujuan, “Lillah dan billah.”

Hal yang terjadi, kerapkali sistem pendidikan di tengah perjalanan mengalami titik simpang yang sangat berat. Beberapa alur pendidikan demikian ambigu dan terasa munafik. Akibatnya, perjalanan pendidikan hanya berputar-putar dan hilang tujuan. Ibarat yang tepat untuk seorang musafir adalah tersesat.

Jadi, (semisal) ada pertanyaan, bagaimana cara beragama di era teknoligi gadget? Bagi seorang pendidik (Orangtua) muslim, mungkinkah hanya diam? Sementara -fakta- gempuran teknologi gadget sudah mutlak tak bisa terhindari. Boleh saja, sebagai muslim kita menyangkal bahwa itu akan menjauhkan dari ibadah. Lantas secara amal sholeh -juga- banyak bisa dilahirkan dari kehadiran gadget? Terasa ambigu atas klaim bagi sebuah kemajuan pendidikan.

Mari sejenak, kita menengok beberapa kaidah lama dalam pendidikan islam yang -di era saat ini- menjadi terasa ambigu jika para pendidik tidak hati-hati.

Namun sebelumnya, ada satu clue pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu. Bagaimana dengan (sebagian besar) umat Islam yang yang terbelakang hampir di segala sektor, baik dalam hal kebijakan publik, ekonomi, politik, pembangunan hingga teknologi? Dan ini pertanyaan ekstrim, berapa banyak keimanan umat Islam yang berhasil dibeli oleh kebijakan dan kekayaan? Lantas, apa yang harus dilakukan oleh muslim dalam menghadapi akselerasi teknologi canggih abad gadget ini?

Jangan-jangan selama ini, umat islam berdiri di garis kebingungan. Secara teori “Tanda kutip” menolak segala unsur kemajuan, tapi secara fakta telah tersublimasi kedalamnya. Dalam aspek sosial, secara fikih (merasa) merendah adalah ibadah dan kesucian, tapi secara praktek selalu mengeluh dan menjerit atas efek praktek teknologi yang membabi buta. Umat Islam memilih berdamai di menara gading, sementara -aspek perubahan justru 90% banyak terletak di aksi kehidupan sosial nyata. Nah, ambigu kan akhirnya.

Saatnya, dunia pendidikan Islam segera mengevaluasi hampir banyak doktrin fikih yang -era sekarang- terkesan salah sasaran dan bukan pada tempatnya lagi. Banyak konsep ibadah dalam pendidikan Islam yang hanya berakhir di seremonial tanpa jelas arah dan tujuan. Menggempur yang serba berbau kemajuan, tapi kaki terseret dalam kubangan lumpur yang semakin menenggelamkannya.

Satu contoh ajaran pendidikan yang sepertinya baik, tapi efeknya membunuh. Jika tidak diimbangi dengan pendekatan tafsir ilmu yang berbeda.

Semisal Buya Hamka pernah bilang, “Belajarlah layaknya ilmu padi, kian berisi kian merunduk.” Doktrin satu ini jika tidak dipahamkan secara pergeseran jaman -justru- akan membunuh pengetahuan secara perlahan-lahan. Atau -yang membahayakan- adalah ketidak beranian menyampaikan kebenaran ilmu dijadikan toxic alasan untuk merendah. Fenomena bagaimana banyak alim yang menutup diri -lari dari dunia sosial- lantas menjadi sufi, dan hanya asyik antara dirinya dan Tuhan. Sementara Buya Hamka sendiri dengan sangat tegas memberi judul bukunya ‘Tasawuf Modern’. Apa artinya? Bahwa yang dimaksud dengan Hamka adalah, “Modernlah kalian, tapi jangan pernah sekali-kali menggenggam dunia.”

Banyak modal edukasi positif yang justru -bagi Pendidik- mutlak dikedepankan sebagai proses pendekatan kurikulum kehidupan. Semisal untuk anak usia 0-15 tahun, bagaimana fokus kepada unsur pengenalan diri dan akhlak. Usia 15 – 25 tahun fokus kepada perkembangan pengetahuan dan akhlak. Usia 25 – 40 tahun fokus kepada manajemen diri, strategi, fighter, jatidiri dan akhlak. Usia 40 tahun ke atas, fokus kepada aspek regenerasi dan “Tularisasi ilmu”

Jadi, ada masa dan tempat yang presisi, kapan belajar, kapan berkembang, kapan mengajar dan kapan mengarahkan.

Untuk para pemuda muslim, terus man jadda wajadda, bermimpi dan mengejar mimpi karena itu tugas ibadah.

Untuk para dewasa, pergi berjuang, kuasai strategi alam semesta, jadi yang terunggul, karena sesungguhnya khoirunnas anfauhum linnas. La takhof wa la takhzan (jangan takut dan jangan khawatir/sedih). Lelah perjuangan itu ibadah. Innalloha ma’ana.

Untuk para tua, pastinya akan menjadi terbaik kalau sudah seperti sabda rosululloh Muhammad “al yadul ulya khoirun min yadissuflaa” (tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah). Pakai rumus Einstein : E=M.C2(kuadrat).

Sekarang bandingkan dengan ajaran di bawah ini :
Untuk para pemuda muslim, bersikaplah “nerimo ing pandum”, mangan gak mangan asal kumpul, merendah hati jangan sombong dan selalu mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan sendiri.

Untuk para dewasa, tetaplah menjadi diri sendiri, bersikap sederhana, jangan mudah pamer dan terseret oleh arus teknologi. Tidak harus membaca yang penting baik hati. Mengalah jika diserang. Dan berterimakasihlah jika kaki diinjak (: “Maaf, kaki saya diinjak!”).

Untuk para tua, ” Tetap terus berkarya…”

Hemmmm …… !!?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *