Yang Mengusir Tuhan

Cerita Pendek  Mustaqiem Eska

Yang Mengusir Tuhan

 

 

Ruang tamu rumah si Mbah itu berukuran tiga kali lima meter. Bercat putih agak sedikit pink,  menandakan si Mbah, penghuninya adalah sudah tua namun gaya hidupnya masih seperti anak muda yang tidak takut mati, agresif, semangat dan penuh kreatifitas.

Menghadap ke depan, sebuah pintu yang senantiasa terbuka lepas sehingga para tamu bebas berkeliaran keluar masuk, meskipun tak lupa mereka tetap selalu mengucapkan salam sebagai bentuk penghormatan. Atap rumahnya yang polos terang dengan ukiran sentimentil di langit-langitnya mengingatkan kepada kesahajaan dan ketulusan. Meskipun di  sisi lain, bentuk ruangan yang kotak  adalah wujud karakternya yang sangat keras, egois  namun tegas.

Setiap hari rumah si Mbah tak pernah kosong oleh tamu. Selalu saja ada yang datang dengan membawa segudang alasan. Ibarat tong sampah, si Mbah seringkali dijadikan tempat mengadu, bertanya, berkeluh kesah, silaturrakhim, buang hajat, bahkan kadang berobat. Ilmu tentang pengobatan itu pernah di dapatkannya sewaktu berada di Tibet. Selama tiga belas setengah tahun dia keliling dunia. Hampir seluruh kota di dunia pernah di jamahnya. Hanya satu kota yang belum di singgahinya, katanya. Yaitu Papua yang ada di Kepulauan Irian Jaya, Indonesia. Entah apa alasannya, tidak jelas.

Sebutan kepada si Mbah bagi kebanyakan orang sunguh sangat beragam. Itu tergantung kepentingan dan pengalaman yang berlaku waktu itu. Bagi para tetangga terdekat memanggilnya dengan Pakde, ada yang memanggilnya Eyang, si Mbah, pak Yai, Tabib, Psikolog, bahkan anak-anak pinggiran kali Cisadane tempat dia menanamkan pengetahuan  memanggilnya guru Pandita. Entah apa  alasannya, mungkin karena kecerdasan IQ-nya yang dua ratus enam puluh melebihi Enstain, sehingga cara berfikirnya terkesan nyleneh.

Halamannya ditanami pohon jambu cangkokan antara jambu klutuk dengan jambu Bangkok yang menghasilkan buah jambu rasa apel.  Daunnya rindang serta tangkainya banyak bercabang, tempat angringan ayam piarannya yang jumlahnya puluhan. Jika tamu yang baru bertandang dan salah parkir, maka kendaraannya memungkinkan akan terjatuhi oleh kotoran ayam dari atas pohon. Untuk itu, demi menjaga kebersihan, si Mbah selalu menyapu dan menyiramnya setiap datang waktu fajar, saat para tetangga masih terlelap dibuai mimpi.

Suatu siang, matahari tepat di atas kepala. Cahayanya menelan panas seperti hendak menerkam bumi. Udara seakan tertekan menggumpal di satu ruang. Seorang tamu bertubuh lumayan gempal bernama Lam Tok; lelaki blesteran Gunung Kidul dan Arab tengah duduk di dalamnya setelah dipersilahkan masuk oleh si Mbah. Dia menghadap persis pada sebuah bingkai foto berwarna hitam putih bergambar Buyut yang terletak di samping jepitan buku-buku bacaan si Mbah yang turut menghias ruang tamu. Gayanya cukup perlente dengan kacamata agak minus disangga hidungnya yang rada pesek.

“Saya datang terus terang membawa masalah Mbah, seperti orang kebanyakan…”  papar Lam Tok membuka dialog.

“ Sudah tahu!” tegas si Mbah dengan gayanya yang ndelelek sehingga nampak giginya yang ompong tapi tak pernah menjadi keluhan.

“Ah, si Mbah mengada-ada…?” Lam Tok heran.

“Usaha rumah makan dan tambak udang yang bangkrut itu belum seberapa harganya jika dibandingkan dengan matamu yang sampai saat ini masih bisa melihat”

Betul-betul  Lam Tok terkejut. Si Mbah benar-benar bisa membaca pikirannya yang selama ini disembunyikan.

“Tapi Mbah…?”

“Kamu bisa membeli kentut kamu ?”

“Wah, itu hobi saya…maaf,maaf…” Lam Tok sedikit bergurau dan konyol. Rasa malunya di simpan dalam-dalam sekalipun dihatinya terselip kesadaran yang tiba-tiba pecah.

Bayang-bayang makin memendek seiring dengan langkah bumi yang terus berputar. Sementara matahari  tampak  meninggalkan Timur mulai membentuk waktu asar. Kali ini Lam Tok duduk termangu. Dalam benaknya terbetik kebahagiaan tersendiri. Dia seperti tiba-tiba sembuh dari sakit. Apa yang selama ini dicari telah di dapatkan. Seorang Guru sekaligus orang tua. Dan yang lebih dari itu adalah Pengobat bagi penyakit kekecewannyanya selama ini.

Gemercik air aquarium yang sejak tadi menghiasi ruang tamu seakan sirna. Benar-benar Lam Tok ditenggelamkan oleh kesadaran berfikir baru atas bahasa si Mbah yang dirasakan cukup menikamnya. Dia seakan lumpuh. Sekarang kembali lagi dia mengatakan oh ya,ya … setelah sekian tahun dia menjadi dosen tak pernah mengatakan itu.

Udara masih panas. Lam Tok agak gerah. Selembar kertas dikipas-kipaskan ke muka dan tubuhnya.

“Jadi Mbah, saya nggak perlu lagi memperdulikan kebangkrutan itu…. Biar jiwa saya tenang ?”

“Sebenarnya kamu sudah menjawab sendiri”

“Tapi, bagaimana cara saya memberi pengertian kepada isteri saya, bahwa semua ini adalah takdir ?”

“Kamu salah, itu bukan takdir. Tapi bisa jadi kecerobohanmu, bisa jadi perhitungan akal sehatmu yang tidak sempurna waktu itu, atau bisa jadi memang itu cara Tuhan selanjutnya menyelamatkanmu”

“Bangkrut kok selamat sih Mbah ?”

“Kamu itu pintar tapi goblok tenan

“ha ha ha….” keduanya tertawa selayaknya bapak dan anak yang sedang bermain kuda-kudaan.

“Kamu mau diberikan kenikmatan Tuhan tapi itu menjadikan kamu makin sombong, kikir, serakah ?” Tanya si Mbah sambil menghisap sebatang rokok yang baru saja di sulutnya.

“ Lha ilmu itu sudah saya dapatkan sepuluh tahun silam, sewaktu masih di Malang. Pasti nggak mau dong Mbah. Tapi kalau kenikmatannya saja ya mau-mau saja” jawab Lam Tok sedikit ndableg.

“Kamu itu memang sudrun Lam Tok, tapi nggak apa-apa, saya senang kok. Itu pertanda kamu masih bisa sehat”

“Hah, saya sakit to Mbah?”

“Ya, sakit Kurang Ajar”

“Ha, ha, ha….” Lam Tok tertawa sambil tanpa sengaja memegelus-elus jempol kakinya sebelah kanan.

“Mbah saya mau tanya satu hal lagi, tapi ini soal lain, dan bukan keluhan” Tanya Lam Tok lagi.

“Syukur kalau sudah sadar !” sahut si Mbah.

Rona wajah Lam Tok tampak sedikit mringis. Pertanda dia cukup geram dengan si Mbah.

“Kalau orang yang saya anggap guru saja sudah gendeng seperti ini. Muridnya lama-lama bisa sableng …., “ gemercik hati Lamtok terbungkus perasaan.

“Begini Mbah, kenapa di negeri kita yang terkenal taat beragama banyak orang yang suka mengusir Tuhan?”

“Sejak kapan kamu belajar filsafat?” Tanya balik si Mbah.

“Saya tanya kok malah ditanya sih Mbah!”

“Pertanyaan kamu itu seperti ketika kamu sedang buang air besar di kamar mandi, kemudian kamu melihat langit-langit, dinding-dindingnya menyesakkan kamu, dan Tuhan tabu kamu sebut di dalamnya. Padahal ketika kamu masih bisa mengeluarkan kotoran, sesungguhnya kamu telah didekap Tuhan, disayang Tuhan, dan ditolong Tuhan”

“Kata Kyai, haram menyebut nama Tuhan di dalam WC”

“Kamu sadar tidak, bahwa setan dan iblis sesungguhnya banyak membangun sarang Penipuannya-nya di dalam WC, kalau Tuhan lantas kamu usir saat itu, lantas kepada siapa selanjutnya kamu menggantungkan satu tetes air kencing dapat keluar dari lubang kemaluanmu dengan normal?”

“Atau, ketika kamu sedang mengajar, yang ada di benakmu hanya sederetan tanggal gajian di awal bulan. Tapi kamu tak pernah perduli bahwa anak didik kamu sekarang tengah depresi dan kehilangan Tuhan, sebab orang tuanya hanya bisa menyekolahkan saja, tapi tak bisa mengenalkan anaknya kepada cara mengatasi masalah hidup yang sejati. Apa bedanya dengan kamu yang hanya bisa mengajari mereka dengan sekedar menjawab soal ?

“Bukankah diam-diam kamu juga telah mengusir Tuhan, sebab kamu telah menjadikan otakmu itu tidak berfikir secara benar, padahal dia adalah universitas ?”

“Coba bayangkan, Apakah Nabi Idris sebelumnya pernah sekolah ketika dia menemukan mesin jahit dan tahu tentang ilmu bintang ?”

“Apakah Nabi Nuh sebelumnya pernah sekolah ketika dia bisa membuat perahu yang sebesar kepulauan Indonesia dalam masa yang sangat panjang ?”

“Apakah ratu Balqis sebelumnya pernah sekolah untuk mengkonstruksi kerajaannya yang berlantai kaca?”

“Apakah Isa, Muhammad, Budha, Kong Hu-Cu, Musa, Darwin, Asoka pernah kuliah sehingga mereka menjadi orang yang sangat diperhitungkan karena keistimewaannya?”

“Ternyata tidak khan…” si Mbah menegaskan dengan kalimat yang cukup panjang.

Lam Tok terpaku sesaat. Sorot matanya lurus menandakan kalau dia tengah berfikir keras.

“Jadi…?” katanya.

Si Mbah tidak langsung menjawab. Disulutnya kembali sebatang rokok. Setelah menghisap tiga kali baru dia menjawab.

“Artinya, kamu jangan mengingkari kehadiran Tuhan di dalam segala hal. Peran serta otak kamu sehingga bisa berfikir itu atas karya siapa, tangan kamu sehingga bisa meraba, kaki kamu sehingga bisa melangkah, hidung kamu sehingga bisa mencium, telinga kamu sehingga bisa mendengar, kemaluan kamu sehingga bisa beranak pinak, perut kamu sehingga bisa merasakan lapar, jantung kamu sehingga darah dalam tubuh bisa mengalir, ingatan kamu sehingga kamu dapat tetap mengenali saudara-saudara kamu, teman-teman kamu, guru-guru kamu, tetangga-tetangga kamu, bahkan musuh-musuh kamu, semua karya siapa ?”

“Jika semua itu tidak kamu manfaatkan ke jalan yang benar apa bedanya dengan istilah kamu telah mengusir Tuhan dalam kedirianmu ?”

“Kenalilah dirimu, maka kamu akan kenal Tuhanmu” papar si Mbah.

“Tapi Mbah, bagaimana dengan si Mbah yang suka merokok itu ? Berarti si Mbah mengusir Tuhan dong…katanya mengotori paru-paru ?” Tanya Lam Tok ngeledek guyonan yang membuat si Mbah merasa seperti di’pukul’ balik.

“Dasar murid bagindul…” geram si Mbah dalam hati.

Tanpa terasa Ashar datang. Keduanya sadar masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Lam Tok bergegas pamitan.

Lam Tok melangkahkan kaki keluar pintu. Si Mbah menyusul mengantarkan sampai keluar, sebagai bentuk penghormatan kepada tamu.

“Yang masalah rokok tadi termasuk kategori mengusir Tuhan tidak Mbah. Tadi lupa dijawab !!?” Tanya Lam Tok mengulang pertanyaannya yang belum tuntas jawabannya memanfaatkan sisa waktu.

“Jawaban tentang itu butuh penjelasan tiga hari berturut-turut. Banyak sisi yang harus dikupas. Pasti kamu belum sanggup mendengarkannya sekarang !” jawab si Mbah sembari menepuk punggung Lam Tok kencang sekali, terus merangkulnya.

“Bukan apologi kan …” sahut Lam Tok.

Keduanya tertawa terbahak-bahak menyusul Lam Tok yang pulang.***

Related posts