Airmata Buta
Mustaqiem Eska
Beberapa hari ini, seisi rumah nyaris dilanda demam panas, flu plus pilek. Rumah yang tadinya selalu diisi dengan tawacanda berubah keramaian batuk yang saling susul menyusul. Meski dengan kejadian itupun bagi kami tetap bisa menjadi fenomena kelucuan tersendiri. Tapi kai ini tidak karena sakit kami yang membuat saya lebih dalam harus introspeksi akan kesehatan diri. Mawas diri akan kesehatan itu penting. Namun, kesadaran saya yang lebih adalah, terletak pada justru kenangan beberapa tahun silam pada sebuah rumah sakit.
Kala itu, teringatlah saya, dalam sebuah kamar rumah sakit terdapat dua orang pasien yang saling bersebelahan. Yang satu menatap jendela keluar sehingga bisa menikmati indahnya dunia. Dan satunya lagi berada di pojok tembok dalam. Keduanya kebetulan memiliki penyakit yang berbeda. Yang dekat jendela, dia terserang penyakit jantung akut yang tragis setiap saat bisa meremas usianya. Sementara satunya yang tidak bisa melihat indahnya suasana luar tersebut terserang penyakit liver diperparah dengan kondisi fisiknya yang memang sudah buta sejak bayi. Karena beberapa mingggu keduanya berada pada tempat yang sama, entahlah terasa ada keakraban dan rasa saling isi mengisi diantara kedua pasien tersebut.
Setiap pagi, tentu pasien yang buta bertanya dengan teman pasien yang kebetulan dekat dengan jendela luar.
“Ada apa di luar sana?”, tanya pasien yang buta.
“Di luar sangat indah sahabat. Cahaya matahari bagai pijar raksasa terus bercahaya menerangi alam semesta. Menembus jendela ini sahabat. Anak-anak saling bercanda bermain bola bersama. Sementara beberapa ibu membawa bayinya untuk dijemur di bawah terik pagi itu yang katanya untuk mendapatkan asupan protein darinya…” jawab pasien yang matanya mampu menatap kejadian –kejadian di luar.
“Duh, bahagianya mereka ya. Sahabat, ingin rasanya saya bisa melihat mereka” jawab pasien buta.
“Pasti sahabat suatu saat akan bisa melihat semua keindahan dunia ini. Karena sahabat selalu menyimpan semangat dan doa untuk itu” pacuan semangat pasien dekat jendela begitu teduh.
“Sekarang ada apa lagi sahabat di luar?”, tanya pasien buta berikutnya.
“Hemmm, beberapa anak sekolah itu pasti kelak akan menjadi anak yang sangat membahagiakan bagi kedua orangtuanya, sahabat. Mereka begitu bersemangat menuntut ilmu. Pasti orangtuanya bahagia sekali melihat mereka” terang pasien dekat jendela lanjut.
Tak sabar mendengar betapa suasana di luar ada anak sekolah pasien buta lantas bertanya lanjut.
“Sahabat, apakah yang bersekolah itu ada yang berseragam merah putih, perempuan, usia sekitar 9 tahun?”
“Iya, ada sahabat. Bahkan dia bgeitu tampak cantik dan kelihatan paling pintar dari teman-teman sebayanya” jawab pasien dekat jendela berikutnya.
Setelah itu tampak sekali airmata terus deras mengalir dari anak sungai pelupuk matanya, yang selama ini terlihat kering dan tak bernyawa. Bola matanya nampak kian basah. Bahkan beberapa waktu pasien yang buta itu tak sanggup menghentikan deras arus airmatanya.
“Maafkan sahabat, aku tak sanggup membendung kenangan tentang satu wajah keindahannya. Ceritamu tentang anak di luar itu telah mengingatkanku betapa aku pun punya anak seperti itu. Tapi aku tak pernah bisa melihat kecantikannya” suara pasien buta pada waktu berikutnya. Tapi hari itu tentu tidak seperti biasa lagi. Sebab tak ada lagi jawaban dari sahabat pasien di sebelahnya.
“Sahabat…, sahabat.., kenapa kamu tidak ada suara seperti kemaren?” pasien buta terus bertanya dan airmatanya nampak masih membasah seakan terus mencuci selaput cornea matanya.
Beberapa waktu kemudian, Allah SWT memberikan inayah padanya. Benar-benar matanya bisa terbuka. Betapa bahagianya ia bisa melihat apa yang terdapat di hadapannya. Tapi kebahagiaan itu tiba-tiba berubah duka, setelah dilihatnya teman pasien yang selama ini menyemangati hidupnya sudah lebih dahulu menghadap Tuhan. Dia dapat berita itu dari pasien yang merawatnya bahwa semalam sahabat pasiennya itu telah meninggal.
Namun tidak hanya itu, jendela yang konon selama ini dia bayangkan bisa melihat keindahan luar, ternyata hanya sebuah ventilasi udara yang tetap berbatas dengan dinding batas rumah sakit sehingga tidak ada bisa melihat apa-apa di luar.
“Jadi selama ini yang sahabat saya ceritakan tentang keindahan dunia luar, hingga dia bisa melihat anak perempuan saya bersekolah…. , itu hanya….???? “ , tampak pasien yang buta dan sekarang sudah bisa melihat itu terpana di sudut ranjang sakitnya. Begitu ingin sekali ia segera berlari mengejar mayat sahabatnya walau sekedar itu untuk mengucapkan teriamakasih padanya. Tapi apa daya, bahwa bersyukur matanya sudah bisa melihat, tapi penyakit livernya memaksanya harus tetap bertahan di ranjang sakitnya. Dan ia menangis. Menangis untuk kehilangan atas kebaikan teman sesama pasien beberapa hari kemaren.