DIMENSI NIAT
“Kalau kamu mau ke suatu tempat, kamu harus sampai ke tujuan sebelum berangkat”
————-
Niat itu adalah sebuah dimensi yang jauh tersembunyi di kedalamam hati. Ia lahir jauh sebelum segala bentuk terjadi. Bahkan ia mencapai tujuan sebelum perjalanan dimulai. Itulah kenapa, dalam islam, niat selalu menempati peringkat pertama.
“Innamal a’malu binniat.”
Seorang pekerja proyek pada sebuah jalan, menargetkan pekerjaan bisa selesai sesuai progres yang diharapkan. Siang malam seluruh tenaga dam pikiran di dedikasikan untuk terwujudnya sebuah sarana kemudahan transportasi bagi orang banyak. Tentu bukan hanya pemerintah saja yang bergerak sebagai penyedia jasa, tapi pelaksana pekerjaan adalah juga ikut menjadi ujung tombak keberhasilan. Para tenaga harian yang cukup mengandalkan gaji per-jam telah meninggalkan isteri dan anak-anak bergelut dengan terik siang yang membakar sekujur kulitnya. Bahkan sampai malam pun mereka harus bermandikan aspal yang panas hingga suhu 160 derajat. Mungkin keluarga di rumah tak pernah merasakan tentang letihnya nilai perjuangan meretas masa depan. Tapi semua terjadi sungguh karena ada energi besar yang menyala-nyala, niat.
Sebuah kota terlihat begitu bersih. Taman-taman yang indah berjajar menghiasi sudut-sudutnya. Matahari bagai lampu pijar raksasa yang ikut mendamaikan hati bagi setiap orang. Kerapian kota yang harum tanpa sampah sesungguhnya adalah karena ada tangan-tangan malaikat yang memungutinya setelah terbitnya fajar. Bahkan kadang, jauh sebelum ujung fajar tiba dimana udara masih demikian dingin, tubuh-tubuh pahlawan itu sudah menyapu jalan dengan suara yang demikian lirih. Sementara banyak orang yang terlelap dalam dengkur dan mimpi. Suatu keajaiban dedikasi suci untuk sebuah kota dari anak negeri yang pantang lelah, meski terkadang tetap dianggap sunyi. Mengapa tangan-tangan bersarung ‘kesucian’ begitu semangat, padahal kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu. Bahkan dari ibu-ibu itu ada yang sudah berusia renta? Kemana gerangan kekuarga dan anak cucu mereka. Adakah mereka tetap tidak sadar, karena yang dia temukan, bahwa pahlawan kebersihan kota itu nyatanya selalu muncul dengan wajah yang berlumuran senyum dan kota yang tiba-tiba sudah bersih. Energi apakah gerangan yang menjadika sebuah kota begitu hijau?
Jaman dahulu, para orang tua melatih ‘sense’ bagi anak-anaknya cukup dengan kalimat yang abstrak. Sebuah susunan kata yang bisa diterjemahkan secara terbuka oleh siapapun. Pemilihan unsur katanya indah tapi -jika salah menafsirkan- sangat beresiko bisa melukai perasaan dengan sendirinya.
“Itu ‘genuk’ (semacam gentong besar air, yang terbuat dari batu) ada ularnya. ”
Contoh kata perintah di atas bukanlah kalimat sebenarnya. Kalimat pemberitahuan di atas adalah eufimisme bahasa. Begitu lembutnya orangtua untuk sekedar minta tolong kepada anaknya, agar mengisikan air ke dalam gentong (bahasa jawa : genuk) yang sudah kosong. Sebuah pemilihan kalimat yang bisa multi tafsir. Apakah orangtua marah, atau orangtua yang mengajarkan kepada anaknya nilai sebuah kepekaan. Di sinilah butuh ruang kelegowoan dari setiap hati, untuk bisa menangkap sebuah sinyal secara arif. Kekayaan hati yang indah ini bisa berlangsung demikian luhur tentu bukan karena munculnya ego, tapi adalah kelapangan dada yang bersumber dari muara niat yang dipenuhi ketakdziman. Hingga tidak ada ketersinggungan, meski kepantasan bagi orangtua memerintah anaknya. Atau juga tak ada rasa jengkel, meski ada hak seorang anak untuk meluruskan arah perintah yang sebenarnya. Toh, semua lapang, semua indah, genuk pun kembali terisi air penuh dengan suka cita. Gerangan apakah sebuah komunikasi ini bisa indah? Tak lain adalah niat yang masing-masing ikhlas.
Sesungguhnya, niat memang sebuah tindakan yang melaju lebih cepat sebelum pekerjaan itu terjadi. Orang Islam menanamkan niat jauh-jauh hari untuk bisa menunaikan suatu ibadah yang berat karena menyangkut biaya yang besar layaknya haji. Sesungguhnya dengan menancapkan niat, ia sudah menabur benih perjalanan yang jika disebut sebagai tumbuhan, tunasnya itu bernama haji. Ia layak sudah layak menyiramnya dengan menjaga amal-amal yang baik, dan menjauhi perilaku buruk yang dibenci Alloh. Adab-adab keseharian dijaganya, perilaku buruk, iri, dengki, sakit hati, pemarah, pendendam, picik, munafik, berburuksangka, rakus, hedonis hingga ego, ia singkirkan sejauh-jauhnya. Orang-orang semacam ini seaungguhnya sedang dalam perjalan ‘tawaf’ mengelilingi Ka’bah. Puncaknya adalah ketika secara dzohir dihadirkan badan dan jiwa di hadapan niatnya, di depan baitulloh. Kenapa, karena ibadah adalah perjalan ruh yang jauh lebih cepat melesat ketimbang jasad.
Demikian pentingnya niat yang lurus. Maka rosululloh sholallohu alaihi wasallam dalam sebuah haditsnya, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) *** mustaqiem eska