oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Pada pengajian RIC (5/4) -DR.Lamto Widodo- menunjukankan karya fotografinya bergambar Kupu-kupu kepada saya. Cantik sekali. Saya lihat mata kupu-kupu itu saling menembus. Subhanallah. Dan untuk yang berikutnya, ketika bersama bertemu pada acara Raker FG TKQ-TPQ Propinsi Banten (18/4), kembali beliau memperlihatkan gambar yang sama pada saya lewat laptopnya.
”Subhanallah, indah banget” batin saya.
Hingga sejenak saya berfikir. Adakah kupu-kupu yang indah itu ada begitu saja tanpa proses ? Bukankah sebelumnya dia adalah seekor ulat, seperti kata guru biologi saya sewaktu masih duduk dibangku SMP.
Ya, ulat adalah salah satu makhluk Allah yang terkenal menjijikkan, rakus, liar bahkan merusak. Di manapun tempatnya, nyaris tingkat kemanfaatannya hampir terlihat tidak ada. Dalam perilaku keseharian, ulat akan mengeluarkan bau busuk dan sangat menyakitkan hidung.
Tapi apa yang terjadi ketika ulat kemudian mengasingkan diri dari kebiasaan-kebiasaan lamanya yang hanya bisa merugikan makhluk lainnya. Berhari-hari dipaksakan matanya terpejam, hingga seakan benar-benar ia telah tidak ingin melihat apapun termasuk dirinya sendiri. Digeleng-gelengkannya kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti berdzikir tanpa kenal lelah. Naluri untuk makan dan merusak pun telah dikuburnya. Ulat pun berpuasa sekian lamanya. Hingga hari-hari berlalu, udara menaburkan jutaan debu yeng terus melekat dan menempel menutup seluruh tubuhnya, sampai tak disadarinya sang ulat lantas tenggelam dalam kegelapan yang sangat pekat. Rongga udara pun dipersempitnya, sehingga sangat memungkinkan kulit dan dagingnya akan kehilangan cairan. Hingga mengering dan berubah.
Dan saat tubuhnya perlahan-lahan berasimilasi, mulailah dengan sunnatullah debu pembungkusnya perlahan-lahan retak. Dan bersama masuknya oksigen yang membawa karbohidrat, tubuh ulat yang sudah rusak tadi kembali bersemi kemudian membentuk kehidupan baru. Hingga jadilah kupu-kupu dengan beragam warna. Biasanya ulat yang sudah berubah bentuk ini, baru kembali membuka matanya setelah ada cahaya metahari menerobos ke tubuhnya. Seakan ia terkagetkan dengan dirinya yang telah berubah, maka ia pun lantas terloncat. Dan ditemukannya dirinya tidak terjatuh, bahkan tiba-tiba dengan sayapnya ia bisa terbang ke sana- ke mari. Kegirangannya diwujudkan dengan bagaimana kepak sayapnya begitu lincah dan penuh semangat. Begitu bersyukurnya ulat melihat tubuhnya telah berubah menjadi kupu-kupu yang cantik, maka kemudian ia tak lagi memakan kotoran-kotoran. Makannya pun telah dijaganya, hanya sari putik bunga dan madu.
Sekarang, siapapun orangnya tentu akan senang jika melihat kupu-kupu, apalagi kala ia terbang hinggap dari satu dahan ke dahan lainnya. Anak-anak kecil akan mengejarnya, seakan-akan tertantang untuk diajak main bersama. Bahkan sebagian orang ada yang lantas terbawa mitos (sebentuk kepercayaan yang tidak bisa dijadikan dasar), bahwa kaalau rumahnya kemasukan kupu-kupu, selalu dihubung-hubungkan dengan akan datang seorang tamu.
Pelajaran berharga dari ulat yang lantas menjelma menjadi kupu-kupu di atas, nyata memberikan hikmah teladan kehidupan yang super luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Ini adalah bagian daripada ayat-ayat wahyu kauniyahnya Allah. Yaitu tanda-tanda kekuasaanNya yang ditebarkan di muka bumi melalui perubahan-perubahan pada alam semesta. Semakin manusia sadar dan peduli terhadap setiap isyarat-isyarat semesta yang disemaikan Allah di muka bumi dan diperuntukkan untuk kepentingan umat manusia agar selanjutnya lebih mudah membaca dan mengambil hikmahnya, tentu serta merta tidak ada yang sia-sia.
Pada seekor ulat yang berubah menjadi kupu-kupu cantik, tentu kita bisa berguru dengan keteladannya saat berjuang untuk merubah pola hidup, dari yang tidak membawa manfaat, bahkan bermadharat, menjadi tata laku yang penuh manfaat dan menyenangkan.
Ulat sadar betul bagaimana cara hidupnya begitu sangat merugikan. Bukan hanya bagi orang lain tapi juga pada dirinya sendiri. Kebiasaan makan-makanan yang berakibat pada kehancuran tubuhnya tak ubahnya bagai manusia yang tidak memperdulikan pola makan kesehariannya. Tidak pernah dihitung apakah bentuk makanan yang akan ditelan itu betul-betul membawa dampak kebaikan bagi pertumbuhan sel-sel tubuh atau tidak ? Rakus terhadap semua jenis makanan, tanpa mengetahui nilai fungsi dan gunanya adalah sama halnya dengan bunuh diri. Contoh; gemuk (meskipun bukan jaminan) tidak berarti sehat, malah kolestrol yang terus ditimbun dalam tubuh bisa mengakibatkan penumpukan lemak jantung menyusul diabetes, stroke dan mati mendadak. Atau orang yang kecanduan dengan narkoba, ganja, dextro, pun sejenisnya, perlahan-lahan tentu saja mempercepat pertemuannya dengan tanah.
Dari segi lahiriah, bagaimana cara makanan itu di dapatkan, apakah dari bekerja yang baik, menanam karya manfaat, menebar jasa dan kemuliaan. Atau jangan-jangan sebaliknya, sumber rezeqinya didapatkan dari cara yang tidak halal ?
Kesadaran terhadap proses sebab-akibat atas setiap tindakan yang berlaku layaknya ulat, tentu bagian dari syarat mutlak kesiapan untuk berubah. Dalam islam dikenal, bahwa syarat masuk kedalamnya harus totalitas – udkhulu fissilmi kaffah (masuk islam secara penuh) -, ini artinya adalah kesiapan untuk menjadi manusia yang paripurna, tidak sepotong-potong dan diliputi keragu-raguan. Islam tidak menerima wajah muslim yang penuh kemunafikan. Karena itu pasti akan merusak dan pasti merugikan. Dan kepasrahan total untuk lebur ke dalamnya (islam), tentu saja tidak serta merta tidak beralasan dan tanpa kesadaran. Justru, berangkat dari kesadaran total akan jalan benar yang akan dituju, menyublim kwalitas keimanan seorang hamba. Hingga seterusnya, dengan haqqul yaqin dan ainun yaqin keimanannya membentuk kesadaran prilaku untuk bertobat dengan –taubatan nasuha- yang benar-benar terlahir dari jiwa, mencuci gumpalan dan timbunan dosa pun kesalahan.
Begitu juga dengan ritual meditasi ulat yang memejamkan mata dan terus-menerus menggeleng-gelengkan kepala saat melakukan pertobatan, adalah potret ketundukan dan kepasrahan agar benar-benar tekad keluar dari gaya hidup lama yang kotor dan merugikan. Dalam islam ini bisa kita kenal dengan konsep I’tikaf – semacam perenungan spiritual yang dilakukan dengan cenderung lebih banyak introspeksi-, atau dalam tradisi Hindu dikenal dengan konsep Nyepi.
I’tikaf dalam Islam, adalah keharusan. Konsep muhasabah dalam islam adalah i’tikaf itu sendiri. Dengan i’tikaf senantiasa dibelajarkan cara hidup dengan tekad keras bahwa ’hari ini harus lebih baik dari kemarin dan besok harus lebih baik daripada hari ini”. Ini artinya adalah perubahan yang terus- menerus menuju kepada kebaikan. Begitu juga dengan pertanyaan Tuhan bahwa ”Apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadapi hari esok?”, tentu tidak serta merta berhenti pada sekedar menimbun materi dan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Tapi titik tuju perintahnya adalah lebih ditekankan pada bentuk amal yang akan bisa dibawa menuju kematian. Tentu saja, maksudnya adalah 3 amal perbuatan yang tidak akan hilang. Dia akan dibawa mati, saat yang lain meninggalkannya, yaitu; doa anak yang sholeh, amal jariah, dan ilmu yang bermanfaat.
Di sinilah perenungan ulat yang dalam sehingga sampai-sampai tak tahu kalau seluruh tubuhnya telah terselimutkan tebalnya selimut serat debu, sebab yang ada adalah kepasrahan dan ketundukan. Kalau dalam bahasa Erry Amanda –”Kembali ke Titik Nol” – tak ubahnya ketika seorang muslim tegak sholat menghadapkan diri kepada Allah, bahwa ”Innassholati, wanusuki, waahyaya, wamamati, lillahi robbil alamiin” ( sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah karena Allah). Peleburan kesadaran yang tenggelam dalam wajah Allah inilah selanjutnya yang akan menghantarkan pada rahasia-rahasia ketentuan Allah SWT.
Begitu tatkala limpahan nikmat dan karunia telah di dapatkan sebagai akibat dari kesediaan merubah pola hidup dan pikir dari yang tidak baik menuju kepada yang baik, adalah sudah menjadi bagian dari kewajaran dan janji Allah. Kata Allah ” Siapa yang pandai bersyukur atas nikmat-nimatNya maka akan ditambah, begitu sebaliknya, siapa yang tidak pandai bersyukur atas nikmat Allah, maka adzabNya amat sangat pedih”. Adzab Allah ini maksudnya adalah bukan pada kemarahanNya, tapi lebih kepada manusia itu sendiri yang tanpa sadar menganiaya diri sendiri, dan inilah sesungguhnya adzab.
Tentu saja ulat wajar mendapatkan citra yang menyenangkan setelah bersedia hijrah – meninggalkan kebiasaan lama yang sedikit nilai manfaatnya – hingga berubah menjadi kupu-kupu dengan rupanya yang penuh memikat, dipoles ragam warna yang berpadu dalam satu kepribadian. Saat ia terbang tampak begitu ceria dan semangat tanpa dosa.
Dari sini jelas, bahwa ada pembelajaran berharga dari berubahnya ulat menjadi kupu-kupu. Tentu tidak begitu saja terjadi. Ada kesadaran tunduk secara total, ada semangat yang tangguh, ada keyakinan yang sempurna, dan ada kemauan untuk berubah. Begitu juga dengan umat Islam, bahwa untuk mendapatkan rakhmat dan ridho-Nya, maka masuk ke dalam islam secara sempurna adalah hijrahnya, syahadat adalah kunci doktrin keyakinannya. Sementara sholat, zakat, puasa dan haji adalah bentuk kesungguhan cinta dan ketundukan seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Jika ulat berani bertobat dan mencapai kesempurnaan, bagaimana dengan kita yang jelas-jelas berakal ?***