Menghindari Tuhan

Menghindari Tuhan

Oleh : Mustaqiem Eska

 

(pdlFile.com)  Jika ayam, bebek, burung dan unggas lainnya memiliki kebutuhan seluas tembolok, tentu manusia pun tak jauh beda. Kebutuhan makan minum manusia pun hanya selebar perut. Semakin memperkecil keinginan, sebenarnya manusia sudah cukup bisa beribadah kepada Tuhan dengan tiga kali makan sehari semalam. Jika memang harus dipersempit lagi dengan kebutuhan makan dan minum sebatas sahur dan berbuka ketika berpuasa, itu juga sudah lebih dari cukup untuk modal fisik beribadah. Atau kalau pun dibatasi lagi, dengan makan satu kali sehari atau bahkan sama sekali tidak makan, toh Tuhan pun tetap akan akan memberikan rizki-Nya. Askabul Kahfi, selama ratusan tahun tertidur di dalam gua, ternyata tidak berpengaruh terhadap ketahanan fisiknya. Bahkan jika seorang hamba meninggalkan dan menghindar dari-Nya, tetap saja Tuhan akan memberikan rizki sesuai yang dikehendaki-Nya.

Pernah, suatu hari, lalaki sufi mencoba tidak mau percaya dengan sifat pengasih-Nya. “Tuhan tidak akan memperdulikan saya, Tuhan tidak akan memberi saya rezeki,” katanya.

Pergilah ia pada suatu tempat sesunyi-sunyinya. Sebuah gua yang sangat jauh dari manusia. Dan dipastikan betul-betul tidak akan dijamah oleh makhluk yang bernama manusia atau siapapun.

Di dalamnya, lelaki sufi itupun mengurung diri, mempersempit ruang komunikasi. Bahkan dalam hatinya ia akan memastikan diri tidak akan bicara kepada siapapun. Janji dan tekad dalam hati begitu membaja.

“Tuhan pasti tidak akan memberi saya rezeki,” pikirnya.

Secara manusia, tentu saja lelaki sufi itu sudah pun menyiapkan diri jika suatu waktu Tuhan mengambil nyawanya. Da ia benar-benar tampak sudah siap sesiap-siapnya.

Berkali-kali dalam hatinya selalu menolak kehadiran-Nya. Bahkan ekstrimnya. Berhari-hari sudah berlalu. Benar-benar Tuhan tidak datang menemuinya, pikirnya. Tubuhnya mulai sayu dan lemas. Tapi lelaki sufi itu memang sudah nekat. Keinginan tahunya atas Tuhan yang tidak akan perduli terhadap nasibnya memang berharap ingin dibuktikan. Semakin waktu kian bertambah tak berdaya fisiknya. Dan memang benar, tempat yang ia pilih untuk sembunyi begitu sangat terasing. Tidak akan ada jejak kaki manusia.

Puncaknya, mulai tubuhnya terjatuh. Tak sanggup lagi ia duduk. Badannya menggigil panas dingin. Kesiapan untuk menjemput kematiannya pun sudah tidak diragukan lagi.

“Benar kan Tuhan tidak ada,” suara kata hatinya.

Hingga tiba-tiba langit di luar gua tampak hitam. Mendung pertanda mau hujan kian pekat. Seiring dengan cuaca yang semakin dingin, dan menyusul hujan pun turun. Beberapa pedagang tampak melintas, lantas mencoba berteduh di bibir gua, dimana lelaki sufi terdapat di dalamnya. Di saat mereka menunggu hujan reda, didengar oleh beberapa rombongan pedagang itu ada seorang lelaki sendirian di dalam gua tengah sakit.

“Anda siapa?” tanya seorang pedagang.

Tidak ada jawaban.

“Anda kenapa di dalam gua sendirian?” tanya pedagang lainnya.

Tidak ada jawaban.

“Anda terlihat sakit, tubuh Anda panas dingin. Sudah makan?” yang lainnya pun bertanya.

Tetap tidak ada jawaban.

Beberapa pedagang itu menjadi heran. Masing-masing tampak saling bertatap pandang mengisyaratkan keherannya masing-masing. Menyusul, salah satu dari pedagang itu menawarkan minum dan sebuah roti untuk lelaki sufi itu. Tapi tetap saja lelaki sufi itu diam.

Akhirnya, setelah berkali-kali tak ada jawaban dari lelaki sufi itu, para pedagang itupun lantas memaksa membuka mulutnya dan memasukkan roti ke dalamnya.

“Subkhanallah,” sontak lelaki sufi itu dengan refleknya.

“Tuhan memang Maha Pemberi,” katanya, menyusul air mata berlinang-linang meretas dari kedua kelopak matanya, hingga membuat para pedagang itupun menjadi terheran-heran. ***

Related posts