Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Sosok Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi wanita Indonesia, seringkali kita kenang melalui perjuangannya yang gigih dalam mendobrak belenggu tradisi dan memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Namun, di balik semangat revolusionernya, tersembunyi sisi kepribadian yang tak kalah luhur: seorang muslimah yang rajin beribadah dan seorang istri yang taat kepada suaminya. Dua aspek ini, meskipun mungkin kurang mendapat sorotan utama, justru memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas dan kedalaman jiwa Kartini.
Surat-surat Kartini, yang menjadi jendela utama menuju pemikirannya, sesungguhnya menyimpan jejak-jejak keimanan yang kuat. Dalam korespondensinya dengan sahabat-sahabat penanya di Eropa, Kartini kerap kali menyebutkan tentang kebesaran Tuhan, rasa syukurnya atas karunia-Nya, dan keyakinannya pada kekuatan doa. Meskipun ia mengkritisi beberapa praktik keagamaan yang dianggapnya menghambat kemajuan perempuan, esensi kepercayaannya pada Allah SWT tetap teguh. Ia mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran Islam, yang selaras dengan akal dan nuraninya, dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketaatannya dalam menjalankan ibadah, meskipun tidak terekam secara detail dalam sejarah, dapat kita rasakan melalui semangat spiritual yang terpancar dalam tulisan-tulisannya. Ia tidak hanya melihat agama sebagai dogma, tetapi sebagai sumber kekuatan moral dan landasan etika dalam perjuangannya.
Lebih lanjut, potret Kartini sebagai seorang istri yang taat kepada suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, juga patut kita renungkan. Pernikahannya pada usia yang relatif matang, 24 tahun, menunjukkan bahwa Kartini memiliki pertimbangan yang matang dalam memilih pendamping hidup. Meskipun singkat, pernikahannya memberikan ruang baginya untuk merasakan peran sebagai seorang istri. Ketaatannya kepada suami bukanlah bentuk kepasrahan buta, melainkan wujud penghormatan dan penghargaan terhadap ikatan suci pernikahan. Dukungan sang suami terhadap cita-cita Kartini, terutama dalam mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan, menjadi bukti adanya keselarasan visi dan saling pengertian dalam rumah tangga mereka. Kartini, dengan kecerdasannya dan semangatnya yang membara, tentu mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam kehidupan berumah tangga, menjadikannya bukan hanya seorang istri, tetapi juga seorang mitra yang cerdas dan setia.
Menyandingkan perjuangan emansipasi dengan ketaatan beragama dan berkeluarga dalam diri Kartini memberikan perspektif yang lebih utuh tentang sosoknya. Ia tidak hanya berjuang untuk kebebasan dan kesetaraan di ranah publik, tetapi juga menghayati nilai-nilai agama dan keluarga dalam kehidupan pribadinya. Ketaatannya beribadah memberinya kekuatan spiritual dalam menghadapi tantangan, sementara ketaatannya kepada suami menciptakan harmoni dalam lingkup domestik.
Ya, R.A. Kartini adalah teladan yang kompleks dan inspiratif. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan dapat memiliki semangat perjuangan yang tinggi tanpa harus meninggalkan akar keimanan dan nilai-nilai keluarga. Cahaya iman membimbing langkahnya, dan ketaatannya dalam berumah tangga justru menjadi fondasi kekuatan dalam mewujudkan cita-citanya. Kisah Kartini mengajarkan kita bahwa kemajuan dan nilai-nilai luhur dapat berjalan beriringan, saling menguatkan dalam membentuk pribadi yang utuh dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan sesama.***