Menggugah Bara Literasi yang Meredup

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

(pdlFile.com) Di tengah gemuruh pembangunan dan gemerlap teknologi yang kian merasuk, terselip sebuah ironi yang mendalam di susuan Ibu Pertiwi: minat membaca rakyat Indonesia yang tampak meredup bagai bara yang tak lagi disiram semangat. Deretan angka statistik acapkali menyuguhkan potret buram, bahwa di antara jutaan anak bangsa, hasrat untuk menyelami samudra pengetahuan melalui aksara masih belum bersemi subur. Bahkan, gelombang digitalisasi yang diharapkan menjadi cakrawala literasi melalui e-book belum mampu secara signifikan mendongkrak animo membaca di kalangan siswa. Kita seolah menyaksikan sebuah senandung sunyi aksara, di mana lembar-lembar buku tak lagi menjadi jendela yang menganga lebar menuju lentera ilmu.

Mengapa gerangan bara literasi ini seolah enggan berkobar lebih terang? Berbagai faktor saling berkelindan, mulai dari aksesibilitas buku yang belum merata, hingga budaya lisan yang masih begitu kuat mengakar. Namun, sorotan tajam perlu kita arahkan pada garda terdepan pendidikan: kurikulum sekolah. Di sinilah fondasi kecintaan pada literasi seharusnya ditanamkan dengan kokoh sejak dini. Kurikulum yang ada saat ini, meskipun telah mengalami berbagai penyempurnaan, perlu dievaluasi secara mendalam terkait penanaman kesadaran literasi yang holistik dan membekas dalam benak setiap anak didik.

Bayangkanlah sebuah kurikulum yang tidak hanya menjadikan membaca sebagai tugas formal untuk memenuhi tuntutan akademis, namun sebagai sebuah petualangan yang mengasyikkan. Kurikulum yang mampu menghadirkan buku bukan sekadar deretan kata, melainkan jendela ajaib yang membuka tabir dunia, memperkenalkan beragam karakter, budaya, dan pemikiran. Di sinilah peran guru menjadi krusial, bukan hanya sebagai fasilitator transfer ilmu, tetapi juga sebagai inspirator yang mampu menularkan virus kecintaan pada membaca.

Optimalisasi peran kurikulum dapat diwujudkan melalui berbagai terobosan kreatif. Integrasi literasi dalam setiap mata pelajaran, bukan hanya Bahasa Indonesia, akan menumbuhkan kesadaran bahwa membaca adalah kunci untuk memahami berbagai disiplin ilmu. Pembiasaan membaca buku fiksi dan non-fiksi di sekolah secara terstruktur dan menyenangkan, bukan sebagai beban, akan menanamkan kebiasaan baik sejak usia dini. Pemanfaatan perpustakaan sekolah sebagai ruang hidup literasi, dengan koleksi buku yang relevan dan kegiatan yang menarik, akan mengubah citranya dari sekadar gudang buku menjadi pusat kegiatan intelektual yang dinamis.

Lebih jauh lagi, kurikulum perlu mengakomodasi perkembangan zaman dengan bijak. Meskipun data menunjukkan e-book belum menjadi solusi tunggal, potensi teknologi tetap tak bisa diabaikan. Pengembangan platform digital sekolah yang menyediakan beragam materi bacaan interaktif dan menarik, didukung dengan pendampingan guru dalam pemanfaatannya, dapat menjadi alternatif yang relevan bagi generasi digital native. Namun, penting untuk diingat bahwa sentuhan fisik buku, aroma kertas, dan pengalaman membalik halaman tetap memiliki daya tarik tersendiri yang tak tergantikan.

Membangun Indonesia membaca bukanlah pekerjaan instan. Dibutuhkan visi jangka panjang, komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, dan terobosan-terobosan inovatif yang berkelanjutan. Kurikulum sekolah yang dioptimalkan, dengan menempatkan literasi sebagai jantung dari proses pembelajaran, adalah salah satu kunci utama. Mari kita rajut kembali benang-benang aksara yang mulai terlepas, kita sulamkan kembali semangat membaca dalam jiwa setiap anak bangsa. Dengan demikian, kelak akan tumbuh generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kaya akan imajinasi, berwawasan luas, dan memiliki kesadaran literasi yang berkemajuan, membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih gemilang.***

 

Related posts