“Wong Jowo Ojo Lali Jawane”

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

 

(pdlFile.com) – Di tengah arus globalisasi yang deras menerjang berbagai sendi kehidupan, sebuah ungkapan bijak dari khazanah filosofi Jawa menggema, mengingatkan akan pentingnya identitas dan akar budaya: “Wong Jowo ojo lali Jawane.” Lebih dari sekadar pengingat etnis, frasa ini mengandung kedalaman makna yang relevan bagi manusia modern, sebuah ajakan untuk tetap terhubung dengan warisan leluhur di tengah perubahan zaman.

Secara harfiah, “Wong Jowo ojo lali Jawane” berarti “Jika menjadi orang Jawa, jangan lupakan ke-Jawaannya.” Namun, interpretasinya melampaui batasan etnis semata. “Ke-Jawaan” di sini merangkum nilai-nilai luhur, tradisi, adat istiadat, bahasa, seni, dan pandangan hidup yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Ia adalah sebuah identitas kultural yang membentuk karakter dan cara pandang masyarakat Jawa.

Filosofi ini mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian. Menjadi modern tidak berarti harus tercerabut dari akar budaya. Justru sebaliknya, pemahaman dan penghayatan terhadap “Ke-Jawaan” dapat menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi tantangan zaman. Nilai-nilai seperti tepo seliro (tenggang rasa), andhap asor (rendah hati), guyub rukun (hidup harmonis), dan memayu hayuning bawana (memelihara keindahan dunia) adalah permata kearifan lokal yang relevan dalam membangun masyarakat yang beradab dan berkelanjutan.

“Wong Jowo ojo lali Jawane” juga merupakan sebuah kritik halus terhadap kecenderungan melupakan identitas diri akibat terpesona oleh budaya asing. Dalam era digital ini, informasi dan budaya dari berbagai belahan dunia hadir tanpa batas. Tanpa filter dan pemahaman yang kuat terhadap akar budaya sendiri, individu dapat dengan mudah kehilangan jati diri dan hanyut dalam arus homogenisasi global.

Lebih jauh, filosofi ini mengajak untuk tidak hanya sekadar mengingat, tetapi juga mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam “Ke-Jawaan.” Ini berarti melestarikan tradisi melalui praktik nyata, menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, menghargai seni dan budaya lokal, serta menginternalisasi nilai-nilai etika dan moral Jawa dalam setiap tindakan.

Tentu, “Ke-Jawaan” bukanlah sesuatu yang statis dan kaku. Ia adalah entitas yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun, esensinya yang berupa nilai-nilai universal tetap relevan dan dapat menjadi sumber kearifan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern.

Dalam konteks yang lebih luas, filosofi “Wong Jowo ojo lali Jawane” dapat diinterpretasikan sebagai pengingat bagi setiap individu untuk tidak melupakan akar budayanya masing-masing. Di mana pun kita berada dan setinggi apa pun pencapaian kita, pemahaman dan penghormatan terhadap warisan leluhur akan memberikan landasan yang kuat bagi identitas diri dan kontribusi positif bagi masyarakat global.

Demikianlah, “Wong Jowo ojo lali Jawane” bukan sekadar slogan etnis, melainkan sebuah panggilan jiwa untuk merawat identitas, melestarikan kearifan lokal, dan menjadikannya sebagai pijakan dalam mengarungi kehidupan modern. Ia adalah pengingat bahwa kemajuan sejati tidak harus menggerus akar budaya, tetapi justru dapat tumbuh subur di atas landasan tradisi yang kokoh. Dengan memahami dan menghayati “Ke-Jawaan,” kita tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih berakar dan bermakna.***

 

Related posts