Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Di tengah riuhnya dunia yang fana, di mana setiap detik adalah hembusan napas yang berpotensi menguap tanpa jejak, tersembunyi sebuah kekuatan yang mampu melampaui batas ruang dan waktu: tulisan. Untaian kata yang terangkai dengan hikmah dan niat tulus bagaikan benih-benih kebaikan yang ditanam di ladang kehidupan. Sebuah ungkapan mahsyur dari Imam Syafi’i dalam syairnya, mengutip hadits Rasulullah dari Abdullah bin Amr dan Anas bin Malik radhiyallahu anhuma, hadits sahih, “Qayyidul ilma bil kitaabi,” menggema sebagai pengingat abadi akan urgensi mengikat ilmu dengan menulis. Lebih dari sekadar mencatat, menulis adalah sebuah ikhtiar luhur untuk mewariskan cahaya pengetahuan dan nilai-nilai kebajikan kepada generasi yang akan datang.
Betapa banyak jejak peradaban yang lestari berkat goresan pena para cendekiawan dan alim ulama. Nama-nama seperti Al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin-nya, Ibnu Taimiyah dengan fatwa-fatwa yang membentang zaman, Jalaludin Rumi dengan puisi-puisi sufistik yang menembus kalbu, Imam Syafi’i dengan mazhab fikihnya yang menjadi pedoman, hingga Imam Nawawi dengan Riyadhus Shalihin-nya, adalah saksi bisu kekuatan abadi sebuah karya tulis. Mereka telah tiada, jasad mereka telah bersemayam di tanah, namun ide dan pemikiran mereka terus hidup, menginspirasi, dan membimbing jutaan jiwa melintasi ruang dan waktu. Karya-karya mereka adalah buah dari benih kebaikan yang mereka tanam, yang kini telah tumbuh menjadi pohon rindang, memberikan teduh dan buah yang lebat bagi peradaban Islam dan dunia.
Filosofi ini meluas jauh melampaui ranah ilmu agama. Setiap tulisan yang mengandung kebaikan, sekecil apapun, memiliki potensi untuk menjadi mata air inspirasi dan perubahan positif. Sebuah catatan harian yang jujur, sebuah opini yang membangun, sebuah cerita yang menyentuh hati, atau bahkan sekadar rangkuman ilmu yang bermanfaat, semuanya adalah benih-benih kebaikan yang mungkin akan bertunas dan bersemi di kemudian hari. Kita tidak pernah tahu tangan mana yang akan memetik buah dari pohon yang kita tanam. Mungkin kita telah tiada, namun ide dan nilai yang kita torehkan dalam tulisan akan terus hidup, mengalir dalam kesadaran kolektif, dan memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya.
Menulis bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan ketekunan, kejernihan pikiran, dan keberanian untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk yang terstruktur dan bermakna. Namun, justru di sinilah letak keluhurannya. Dari ribuan orang, tidak semua dianugerahi kemampuan dan keahlian untuk merangkai kata menjadi sebuah karya yang berdampak. Oleh karena itu, bagi mereka yang telah dikaruniai anugerah ini, menyia-nyiakannya adalah sebuah kerugian besar. Setiap kesempatan untuk menulis adalah kesempatan untuk menanam benih kebaikan, untuk meninggalkan jejak yang abadi, untuk menjadi bagian dari narasi sejarah yang terus berlanjut.
Marilah kita renungkan, setiap kata yang kita tulis adalah investasi untuk masa depan. Ia adalah jejak langkah kita di bumi, sebuah warisan yang mungkin akan terus dikenang dan dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. Layaknya menanam pohon, kita mungkin tidak akan menikmati secara langsung buah dari tulisan kita. Namun, keyakinan bahwa kebaikan akan selalu menemukan jalannya untuk bertunas dan berbuah adalah motivasi yang tak ternilai harganya. Teruslah menulis, teruslah menebar benih kebaikan melalui aksara. Kelak, dunia akan mencatat setiap kontribusi kita sebagai bagian dari perjalanan panjang peradaban manusia. Imam Syafi’i telah mewariskan pesan yang jelas: ikatlah ilmu dengan tulisan, dan biarkan kebaikan yang terkandung di dalamnya bersemi menjadi sejarah. ***