Cerpen : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Di perut bumi Tembagapura yang kaya, di antara deru mesin dan kilau material tambang, sebuah masjid tak berwujud fisik namun bersemayam kukuh dalam hati para pekerjanya. Masjid itu adalah zikir yang tak putus, doa yang mengalun di sela ayunan palu dan gerusan bor. Bagi mereka, mengingat Allah adalah kompas yang menuntun setiap langkah, lentera yang menerangi lorong-lorong gelap pekerjaan. Keimanan yang mendalam itu menjelma etos kerja yang amanah dan profesionalisme yang tinggi.
Debu merah menari dalam sorot lampu kepala, menciptakan ilusi kabut di lorong-lorong perut bumi. Di kedalaman ini, di mana gemuruh mesin tambang menjadi simfoni sehari-hari, sebuah masjid berdiri tegak tanpa kubah dan menara. Ia tak tersusun dari bata atau semen, melainkan terukir di setiap hati yang berdetak, di setiap jiwa yang merindu Sang Pencipta. Inilah “Masjid Dalam Tanah”, sebuah ruang spiritual yang tak lekang oleh waktu dan tekanan bumi.
Mang Agus, dengan wajah legam yang menyimpan guratan pengalaman, adalah salah satu penjaga setia masjid tak kasatmata ini. Tangannya yang kasar, yang setiap hari menggenggam palu dan linggis, tak pernah alpa menengadah dalam doa. Di sela istirahat yang singkat, di antara hiruk pikuk pekerjaan yang menuntut konsentrasi penuh, bibirnya selalu basah dengan zikir. Baginya, Allah bukan hanya nama yang terucap, tetapi juga kekuatan yang mengalir dalam setiap urat nadi, membimbing setiap ayunan alat kerjanya.
“Ingatlah selalu, Nak,” pernah ayahnya berpesan di kaki bukit yang menghijau, jauh sebelum Mang Agus menjejakkan kaki di perut bumi yang menganga, “bahwa pekerjaan yang baik adalah ibadah. Dan ibadah yang khusyuk lahir dari hati yang selalu mengingat Allah.”
Kata-kata itu bagai mantra yang terus terngiang. Di tengah kegelapan tambang, ketika bahaya mengintai di setiap sudut, mengingat Allah adalah pelita yang menerangi jalan, perisai yang melindungi dari kelalaian dan kecerobohan. Keyakinan itu meresap dalam setiap tindakan, menjadikan pekerjaan bukan sekadar rutinitas mencari nafkah, tetapi juga wujud pengabdian.
Para pekerja tambang lainnya pun demikian. Mereka adalah jamaah “Masjid Dalam Tanah”, yang meski terpisah oleh tugas dan lokasi kerja, terhubung oleh untaian doa yang sama. Ketika suara azan berkumandang dari radio yang terpasang di helm salah seorang pekerja, seketika gerakan terhenti. Debu dan peluh seolah ikut bertasbih dalam keheningan yang khusyuk. Mereka menghadap kiblat yang tersembunyi di balik dinding tanah, menyungkurkan dahi sebagai bukti kehambaan.
Di “Masjid Dalam Tanah”, tidak ada mimbar megah atau ornamen mewah. Yang ada hanyalah kesederhanaan yang tulus, kebersamaan yang erat, dan keyakinan yang membara. Mereka bekerja dengan penuh tanggung jawab, menyadari bahwa setiap hasil tambang yang mereka gali akan menjadi rezeki bagi keluarga di rumah. Amanah pekerjaan adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan mereka. Profesionalisme bukan sekadar tuntutan perusahaan, tetapi juga manifestasi dari kesadaran bahwa Allah mengawasi setiap gerak-gerik hamba-Nya.
Suatu ketika, terjadi longsor kecil di salah satu terowongan. Kepanikan sempat menyergap, namun Mang Agus dengan tenang mengingatkan rekan-rekannya untuk berzikir dan tetap fokus. Pengalamannya dan ketenangannya yang bersumber dari kedekatannya dengan Sang Khalik mampu meredam ketegangan. Mereka bekerja sama dengan sigap dan terukur, mengikuti prosedur keselamatan yang selama ini mereka junjung tinggi. Bantuan pun datang, dan semua selamat.
Malam harinya, di barak sederhana tempat mereka beristirahat, Mang Agus kembali berbagi. “Kita selamat bukan hanya karena keahlian kita, tetapi juga karena lindungan-Nya. Ingatlah, di setiap kesulitan ada kemudahan. Di setiap lorong gelap, selalu ada cahaya harapan jika kita tidak pernah melupakan-Nya.”
“Masjid Dalam Tanah” terus bertumbuh di setiap helaan napas para pekerja tambang. Ia adalah simbol ketahanan spiritual di tengah kerasnya kehidupan. Ia adalah pengingat bahwa di mana pun kaki berpijak, di kedalaman bumi sekalipun, kehadiran Allah selalu menyertai. Dan Mang Agus, dengan kesederhanaan dan keteguhan imannya, adalah muazin yang tak pernah lelah menyerukan kebaikan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Masjid itu mungkin tak terlihat, namun getarannya terasa dalam setiap pekerjaan yang amanah, setiap peluh yang menetes sebagai ibadah, dan setiap keselamatan yang disyukuri sebagai rahmat dari Yang Maha Kuasa.***