(pdlFile.com) – Tragis, warisan budaya bangsa yang bernama ‘Wayang Palembang’ kondisinya sudah sangat kritis, nasibnya miris di ujung azal. Dari hampir satu setengah juta penduduk Palembang tak banyak yang tahu keberadaannya. Penulis mencoba menelusuri sisa sejarahnya, menelusuri pinggiran sungai Musi di kawasan Tangga Buntung. Persis di pemukiman belakang pasar dan terminal Tangga Buntung, tepatnya di jalan Pangeran Sido Ing Lautan, Rt. 10/ rw.16 Ceklatah , 36 Ilir Palembang, melalui lorong setapak, ditemukan rumah panggung dua tingkat bercat cokelat lantai dasar dan bercat abu-abu dengan garis ungu menghias di lantai atasnya. Seperti kebanyakan rumah panggung lama khas Palembang, pada lantai atas juga dapat ditemui adanya ventilasi jendela memenuhi dinding depan rumah. Di sinilah, di rumah peninggalan dalang Kiagus Abdul Rasyid (alm), sang anak yang juga dalang bernama Ki Wirawan Rusdi melalui sanggar Sri Palembang, dengan susah payah terus berjuang tetap menjaga dan melestarikan seni wayang Palembang agar tidak mati.
Dari jejak peninggalan aset wayang Palembang yang masih disimpan oleh Ki Dalang Iwan -sapaan akrabnya- hanya terdiri dari 92 tokoh wayang, tentu ini sangat jauh dari keharusan tokoh wayang; yang bisa mencapai seribuan dari tokoh Mahabarata dan Ramayana. Sisa tokoh wayang yang ada sebagian nampak kusam, beberapa kulit dari tokoh Arjuna pun terlihat nyaris hampir robek. Pada sebuah warung kecil milik Ki Dalang Iwan (putra pertama (Alm) Ki Agus Rusdi Rasyid ), ia banyak bercerita kepada penulis.
Sebagai dalang muda Palembang dan kini satu-satunya yang tersisa, Ki Dalang Iwan merasa sangat perihatin dengan keberadaan akar sejarah ‘Wayang Palembang’ yang sekarang nyaris hampir mati. Ki Dalang Iwan dibantu 13 orang anggota karawitan terus berjuang dengan sekuat tenaga untuk menjaga kelestariannya. Melalui Sanggar Sri Palembang biasanya hanya setiap menjelang pentas, mereka tetap latihan.
Sampai saat ini, dalam tahun 2014, tercatat hanya satu kali main. “Bagi saya itu sudah lebih dari cukup,” ujar ayah dari Sri Rizki Ariyanti (5 thn) . Juga setelah dalang muda Palembang kelahiran 13 April 1973 ini, sampai saat ini keberadaan Sanggar Sri Palembang masih sangat terbatas. Tingkat informasi hanya terbatas di 36 Ilir saja. Meski baru-baru ini, mulai tahun 2014, kran promosi terus coba dibuka melalui pendekatan dengan pemerintahan melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumsel untuk mementaskan wayang selama 2 jam di Situs Purbakala. Dan akunya, nanti dalam rangka HUT Palembang (bulan Juni) sudah diagendakan untuk pementasan kembali. Rencananya nanti akan ditampilkan 4 orang dalang binaannya. Sekaligus dalam acara yang akan berlangsung tersebut disertakan workshop dan perekrutan dalang.
Menurut Ki Dalang Iwan, secara budaya, wayang Palembang tidak identik dengan Jawa. Sumber ceriteranya adalah Mahabarata dan Ramayana namun mengalami pengolahan cerita berupa sanggit sebagai lakon carangan sebagai cerita lokal yang khas. Misalnya lakon Arjuno Duo atau Arjuna Kembar. Walau sudah jauh dengan sumber ceritera namun kalau di runut lakon-lakon cerita wayang Palembang motif-motifnya sama dengan wayang purwa Jawa. Misalnya lakon Prabu Indrapura yang motif ceriteranya mirip dengan lakon Petruk Dadi Ratu.
“Saya membantah kalau saya membawa cerita berdasarkan orang Jawa, cerita yang kita bawa adalah cerita dari India. Sumbernya adalah kisah Mahabarata dan Ramayana,” katanya.
Secara pakem, bagi suami dari Sri Rahayu; Ki Dalang Iwan sangat menyadari, betapa berat menjaga pakem wayang Palembang jika dihadapkan dengan perkembangan arus modernisasi dan teknologi yang jauh berubah.
“Dulu tahun 2006 masih menggunakan bahasa Palembang kuno (Melayu Palembang), tapi sekarang lambat laun sudah dikurangi, dan lebih kepada bahasa sehari-hari Palembang. Dan tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia,” terangnya. Kenapa tidak dicoba menggunakan bahasa Indonesia?
“Secara komunikasi jika menggunakan bahasa Indonesia, itu akan merusak nilai-nilai kebudayaan. Pakem wayang Palembang terlihat agak lebih bebas dibanding wayang purwo (Jawa). Baru jika ada komunikasi yang akan disampaikan ke masyarakat maka dilahirkan lewat punokawan. Di dalam pewayangan beberapa kisah tentang perebutan kekuasaan, pembunuhan, yang baik akan menang terhadap yang kalah, raja memiliki isteri yang banyak sudah ada di dalam pewayangan,” tegasnya.
Dari cerita Ki Dalang Iwan, sempat ia bersyukur, tahun 2004 silam ada kepedulian Tim Peneliti dari UNESCO- sebuah badan dunia untuk urusan pendidikan dan kebudayaan ikut terlibat menjaga kelestarian seni ‘Wayang Palembang’. “Saat itu, Karen Smith wanita asal Australia menetap di Amerika dan Yushi Simishu pria asal Jepang yang menetap di Paris, dari UNESCO berkunjung ke Sanggar Sri Palembang ,” paparnya. Saat itu, Tim UNESCO mengunjungi Sanggar Sri Wayang tidak sendirian. Melainkan dibarengi pimpinan Yayasan Senawangi Jakarta, Sumari, Ketua Persatuan Pendalangan Indonesia (Pepadi) Pusat, Eko Cipto, Ketua Pepadi Sumsel, H.R Amin Prabowo, Menurut pengakuannya, ketertarikan terhadap dunia dalang justru mulai tumbuh setelah ia berkeluarga, apalagi pasca meninggalnya sang ayah. Apalagi setelah pihak UNESCO memberi bantuan wayang dan seperangkat gamelan di sanggarnya.
Seiring waktu, kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pentingnya pelestarian aset budaya yang terancam punah lahir dan tumbuh di hati. “Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi dalang meski pada saat kecil dulu kerap dikenalkan wayang oleh ayah,” akunya.
Sejarah Mula Wayang Plembang
Awal Mula Wayang Palembang Menurut Ki Dalang Iwan, masuknya wayang ke Palembang pada masa Ario Damar (Ariodillah) (1455-1486M), pada saat itu telah ada seperangkat alat-alat dalam pertunjukan wayang maupun seorang “Dalang”. Pada awalnya mereka menggunakan bahasa jawa yang digunakan oleh para bangsawan yang datang ke Palembang, mengingat saat itu tidak ada hiburan. Lama kelamaan terjadilah akulturasi bahasa. Sebenarnya aslinya sebenarnya sama dengan Jawa, ‘kulo’, ‘niki’, ‘sampun’. Sedikit banyak orang Palembang ada titisan dari Jawa. Akhirnya ada percampuran bahasa antara Jawa dan Melayu. Pada masa penjajahan Belanda masih berkembang kebudayaan wayang, akan tetapi setelah memasuki masa penjajahan Jepang mulai tak terlihat lagi, karena saat itu keras.
Pada tahun 1932 , H. Ishak, seorang sesepuh pernah menonton wayang kulit yang saat itu didalangi oleh Abdur Rohim. Ada unsur politik saat itu. Berdasarkan keterangannya, di Palembang, baru pada tahun 1950 pemuda di 36 Ilir mulai gelisah karena tidak ada hiburan. Maka dibuatlah mainan yang berasal dari lidi dan kertas. Kegelisahan itu akhirnya mengundang keprihatinan sesepuh untuk mendirikan Sanggar Sri Palembang. oleh R.Daryono, Abdur Rasyid yang sekaligus sebagai dalangnya. Abdur Rasid berguru dengan cek Hanan.
Ditinjau dari bentuk rupa wayang tidak dipungkiri bahwa wayang Palembang berasal dari Jawa. Dari gaya wayang putren juga dari rupa ornamen, bisa dipastikan wayang Palembang bergaya gagrag Yogyakarta. Namun apakah dibawa langsung dari Yogjakarta tidak ada yang bisa memastikan. Ada yang mengatakan wayang tersebut berasal dari Tanggerang ? Ditilik dari wayang yang paling tua, jelas bahwa wayang tersebut didatangkan dari Jawa. Sedang wayang-wayang srambahan ‘tokoh-tokoh pelengkap’ dibuat di Palembang.
Di era 70 an dunia perwayangan Kota Palembang masih kerap menggelar kegiatan pentas di tengah masyarakat Palembang, seperti resepsi perkawinan serta khitanan. Namun kebiasaan masyarakat asli Palembang tidak menular ke generasi saat ini yang lebih mengenal kebudayaan luar. Dahulu, wayang Palembang memiliki banyak dalang, seperti Dalang Lot, Dalang Jan, Dalang Abas, Dalang Abdul Rahim Dalang Agus dan Dalang Ali. Saat itu, wayang Palembang cukup dirindukan sebagai hiburan maupun untuk ruwatan. Meski sayang pada selanjutnya mengalami kemunduran.
Tahun 1930 sampai dengan tahun 1978 orang sudah jarang menyaksikan pertunjukan wayang Palembang. Setelah begitu lama dalam tidurnya yang panjang (kurang lebih 48 tahun), bersyukur pada tahun 1978 PEPADI Sumetera Selatan berhasil mengembalikan keberadaan Wayang Palembang dan berusaha membangunkan kembali dari kondisi yang sangat memprihatinkan. Sampai saat ini, Ki Dalang Iwan tetap semangat untuk terus menghidupkan warisan kebudayaan bangsa berupa ‘wayang Palembang’.
Diakuinya, wayang Palembang memang tenggelam, apalagi banyak masyarakat tidak mengetahui dan senang dengan kebudayaan asli. Apalagi sebagian masyarakat Palembang yang mengerti kesenian mengganggap menyewa wayang untuk pertunjukan lebih mahal dari organ tunggal. Padahal, bagi Ki Dalang Iwan, dia tidak pernah mematok tarif khusus. Paling tidak kalau memang dikomersilkan berkisar di bawah sepuluh juta rupiah. “Murah,” katanya. Ia mengaku, wayang Palembang berbeda, karena mentas hanya 1-3 jam, sementara wayang Jawa bisa semalam suntuk. Ke depan, Ki Dalang Iwan sangat berharap kesenian wayang Palembang kembali bisa dikenal masyarakat luas dan anak-anak sekolah. “Apapun resik0nya, saya tetap menjalankan wayang Palembang”,” semangatnya. *** (mustaqiem eska)