Tabularasa Anak Sholeh

(pdlFile.com) Awalnya anak sholeh itu memang polos, sepolos kertas putih yang belum ternoktah. Anak sholeh bukannya hasil serta merta terbentuk. Ia tumbuh dan berkembang secara proses dari lingkungan sekitar yang mewarnainya. Jika diibaratkan sebuah lukisan, anak sholeh adalah hasil goresan di atas kanvas yang dikreasikan oleh pelukis professional hingga melahirkan gradasigradasi warna; dimana keteraturannya membentuk komposisi keindahan, sejuk jika dipandang. Dalam bahasa alqur’an, anak sholeh disebut sebagai qurrota ‘ayun (penyejuk mata).

Dalam Sebuah hadits, riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?

Read More

Betapa lingkungan kecil yang bernama keluarga memegang peranan sangat penting dalam pembentukan mental dan karakter anak sholeh. Karena orangtua bagaimanapun alasannya, mereka adalah madrosatul ula; sekolah pertama yang membimbing dan mengantarkan anak bisa menjadi sholeh.

Dalam hal proses pembentukan anak sholeh, saya sangat sepakat dengan Prof. Dr. Zakiah Darajat; psikolog Indonesia, yang berpendapat bahwa pendidikan anak harus dilakukan sejak ia dalam kandungan.

Ini artinya bahwa, orangtua ketika ‘mengandung’ anak baik bapak atau ibunya harus sudah memposisikan keduanya sebagai guru, orang yang pantas untuk digugu dan ditiru. Orangtua kudu menjadikan kepribadiannya sebagai kurikulum yang hasil pembelajarannya bisa diukur di setiap pertumbuhan dan perkembangan anak sholeh. Karena hakekat ibu mengandung adalah mengajarkan calon anak sholeh dengan bagaiamana menjaga pola makan, bagaimana bersikap dan bertindak yang diselimuti kebaikan-kebaikan dalam hidup, bagaimana berkata yang baik, menjauhi ghibah dan obrolanobrolan ala ibuibu yang kerap mubazir dan sia-sia, memperbanyak ibadah dan semakin mendekatkan diri kepada Robbul izzati.

Sementara bapak “mengandung tanda kutip” dengan menjaga dan menuntun keduanya -ibu dan anak- agar tetap terpenuhi segala kebutuhan sarana kemudahan dalam beribadah dan pemenuhan kebutuhan keseharian secara halal. Ibarat sekolah ‘terkecil’ bapak adalah kepala sekolah yang memanage Sebuah pembelajaran, dalam rangka bisa terciptanya anak sholeh yang diimpikan.

Dalam ilmu pendidikan secara umum, kita kenal Sebuah teori ‘Tabularasa’, yang dicetuskan oleh John Locke dan Francis Bacon. Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi, “A sheet ot white paper avoid of all characters. ”

Jadi, dari teori tersebut, betapa peranan orangtua sebagai pendidik utama menyimpan energi besar yang sangat berperan bagi prose’s terbentuknya seorang anak. Mau jadi anak yang sholeh maka kedua orangtuanya haruslah sholeh/ah terlebih dahulu. Itu idealnya.

Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera.
Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.

Sementata berbeda dengan teori Navitisme oleh Schopenhauer, yang berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa.

Aliran Pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme. Saya sendiri -jujur- kurang sependapat, karena terlalu pesimis. Meskipun akhirnya William Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman, telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori konvergensi.

Bagi William Stern, katanya, bahwa pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan.Artinya, anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya.

Terlepas segala macam tentang teori pendidikan yang ada, saya tetap percaya kepada apa yang dikatakan oleh rosululloh, bahwa sesungguhnya anak terlahir dalam keadaan fitroh. Jika ingin membentuk anak yang sholeh, maka prinsipnya orangtua harus sholeh terlebih dahulu. Karena pendidikan anak itu tidak lain adalah memberi CONTOH dan DO’A. Salam takdzim. (Mustaqiem Eska)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *